Kepergian Marco dan Hal-Hal di Sekitarnya
MARCO mati pagi itu, hari ke-9 di bulan Februari 2022, satu jam sebelum azan Subuh terdengar, ketika udara pagi masih terasa jernih dan suara orang mengaji dari toa musola merecoki kesunyian.
Istri saya mendapati tubuhnya tergeletak tak
bergerak di dalam kandang. Kepalanya bersender pada wadah air, dengan posisi
kaki depan seolah habis mengejang. Dari mulutnya menampakkan buih liur berwarna
keruh bercampur darah. Bercak-bercak merah tercecer di alas kandang, masih
terlihat encer dan tampak masih segar—menandakan ia belum terlalu lama meregang
nyawa.
Kematian selalu saja penuh
ketakterdugaan. Kami, saya dan istri, tentu saja tak menyangka kucing yang
sudah dua tahun kami rawat dengan sepenuh kasih sayang itu bakal pergi lebih
cepat dari yang kami bayangkan.
Dari beberapa artikel yang kami baca, kucing Anggora
bisa bertahan hidup sampai setidaknya tujuh tahun. Dari situlah kami lantas
meyakini bahwa Marco dan Jenny, satu kucing kami yang lain, bakal berumur
setidaknya lima sampai tujuh tahun, sehingga dalam beberapa kesempatan kami
sering mengandaikan jika kelak Marco menua dengan tubuh gempal dan sikap
malas-malasannya yang otentik.
Kesiapan mengalami kesedihan ditinggal mati mereka
berdua pun sudah kami siapkan kelak pada tahun-tahun kelima, enam, atau tujuh. Untuk
itu, sebelum sampai waktu yang kami bayangkan sebagai jatah penghabisan umur
mereka tiba, kami bercita-cita melihat mereka tumbuh dengan sehat dan menjadi kucing
yang gemuk dan menggemaskan.
Kegemukan, semua orang tahu, tidak baik bagi
kesehatan. Tetapi anehnya kami selalu berharap tubuh kucing kami subur dan
penuh lemak. Rasanya sungguh menenteramkan menggendong kucing bertubuh tambun. Lantaran
Jenny seperti memiliki “kutukan” dari lahir yang membuat berat badannya jarang
bertambah kecuali saat bunting, harapan melihat kucing gempal pun kemudian
teralamatkan ke Marco. Untuk mewujudkan harapan kami itulah kami selalu
memberikan makanan terbaik bagi keduanya. Dry food terbaik serta rebusan
daging ayam tanpa tulang.
Harapan itu masih terbayang jelas saat saya membopong
jasad Marco yang mulai kaku itu ke kebun belakang rumah tetangga kami, yang
dengan penuh kebajikan mempersilakan kami mengubur Marco di sana. Lik Tun,
tetangga kami itu, turut mengantar kami, menunjukkan bidang tanah yang boleh untuk
makam. “Tanahnya digali yang dalam yo, Mas.”
Di antara pohon pisang dan rumput liar, saya mengayunkan
cangkul, menggali tanah sekira setengah meter lalu membaringkan Marco di sana.
Potongan kayu kami jadikan penanda. Kami jongkok sebentar, melihat gundukan
tanah basah itu, membayangkan tubuh mungil itu meringkuk di dasar liang. Seekor
kucing mati dan kami tahu ini peristiwa sederhana. Istri saya mengelap matanya
yang merah sembab, lalu kami berdua pun beranjak meninggalkan kebun.
SATU
hari sebelum malam pergantian tahun menuju 2021, saya dan istri dari Semarang menerjang
kemacetan jalanan Demak-Jepara yang kala itu tengah mengalami pengecoran di
beberapa titik. Seperti sudah berulang-ulang kami lakukan, kami pulang ke
Jepara untuk bertandang ke rumah orangtua, mertua saya.
Pada kepulangan kami kali ini ada maksud lain.
Selain melunaskan rindu kepada orangtua, kami juga berniat mengadopsi anakan
kucing Anggora milik paman kami. Anggora betina miliknya belum lama yang lalu
melahirkan lima bocil. Dengan mengadopsi kucing milik paman, selain tak perlu
merogoh kocek, kami juga bisa memilih motif bulu kucing sesuai keinginan kami.
Ini pertama kali saya, juga istri, mengadopsi
hewan peliharaan. Sempat terlintas untuk mengadopsi anakan anjing, tetapi
membayangkan akan ada begitu banyak komentar negatif yang menghampiri kami niat
itu kami urungkan. Sangat sulit bagi orang-orang di sekitar kami menerima ada
muslim memelihara anjing. Maka kucing adalah pilihan paling pas, meski
sebenarnya kami tak bisa memastikan semua orang menerima keberadaan kucing di
dekatnya.
Ayah saya sendiri tak pernah sudi berdekatan
dengan kucing. Baginya hewan itu adalah pencuri yang tak tahu diri. Pernah
ketika saya masih kecil, ayah mengangkut sekian anak kucing lalu membuangnya
entah ke mana. Ibu saya pun tak banyak berkomentar melihat hal itu. Kedua
orangtua saya memang tak melarang anak-anaknya memelihara hewan ternak. Ayam,
terwelu, marmut, burung, atau menthok, misalnya. Tetapi kucing adalah
pengecualian.
Sikap tak akrab dengan kucing agaknya menurun ke
saya, meski saya tak sampai pada tingkat membenci. Hingga kemudian segalanya berubah, atau lebih tepatnya diubah oleh keadaan. Niatan memelihara kucing pun
tak tiba-tiba muncul secara ajaib. Jika sebuah keputusan adalah hasil dari
pertimbangan yang matang dan ditopang dengan kebutuhan, maka mengadopsi kucing
adalah contoh yang tepat. Lebih dari itu, ada momentum yang menjadikan
keputusan itu mendesak untuk diambil.
Konon, ada jenis manusia yang menekuni suatu hal
lain dari yang biasanya hanya lantaran ia tak sanggup menggapai apa yang tengah
ia cita-citakan. Kalimat tadi berasal dari sebuah cerpen yang kawan saya tulis,
dan saya kutip sekenanya dari ingatan. Dan agaknya saya tepat dikategorikan
dalam jenis manusia seperti itu.
Sudah enam tahun saya menikahi istri saya, dan
dalam rentang selama itu belum ada tanda-tanda kami bakal dikaruniai keturunan.
Semula, saya tak terlalu memandang penting persoalan tersebut. Jika sudah
saatnya, jika sudah mendapat kesempatan dari Tuhan, pastilah saya dapat
giliran. Begitu banyak remaja menikah pada usia belia lantaran hamil di luar
nikah, bahkan ketika mereka tak meniatkan untuk itu. Saya optimis ini hanya
soal waktu.
Sampai kemudian wabah singgah di negera ini dan
memaksa kami berdua bekerja dari rumah untuk waktu yang cukup lama.
Pada awalnya kami menyambut gembira keputusan perusahaan tempat kami bekerja
yang mewajibkan pekerjanya bekerja di rumah (Work From Home/WFH) lantaran
ada kebijakan lockdown dari pemerintah. Internet membuat hal-hal menjadi
lebih mudah, termasuk urusan pekerjaan.
Kami menikmati masa-masa awal libur
panjang itu dengan hal-hal menyenangkan. Selain itu, kami pun jadi terbiasa bangun
lebih siang dengan tenang tanpa terburu-buru takut terlambat masuk kantor.
Melewati pagi dengan segelas madu jahe dan pisang rebus, lalu membakar sebatang
dua batang rokok sebelum mulai bekarja. Pada malam harinya kami jadi lebih
disiplin melampiaskan birahi, menunaikan pekerjaan membuat anak. Kami optimis
tahun itu kami bakal menuai benih, mengingat intensitas hubungan kami yang
tinggi dan terjadwal.
Optimisme seringkali merupakan sebentuk cara bagi
manusia menghadapi rasa takut dalam menghadapi kenyataan. Sampai pada bulan ke
sekian kami WFH, kami sadar optimisme kami berlebihan dan celakanya kebosanan menghadapi
situasi pandemi mulai menjalar di kepala kami.
Intensitas pertemuan yang terlalu berlebihan
sungguh tak menyehatkan bagi hubungan percintaan, bahkan ketika sudah berumahtangga
sekalipun. Kami memang tak sampai pada tahap bertengkar tiap hari. Sebaliknya,
kami jadi asyik dengan dunia kami sendiri-sendiri. Percakapan menjadi
basa-basi, dan hari-hari menjadi membosankan. Ia asyik menonton drama Korea,
saya larut dalam tontonan podcast di youtube. Sedangkan kabar kehamilan yang
kami nantikan lambat laun menjadi doa sunyi di hati kami masing-masing.
Hingga pada satu malam yang larut terbersitlah
keinginan untuk mengadopsi hewan peliharaan. Saya kira, ini solusi agar kami
punya perhatian yang sama, yaitu peliharaan. Tayangan video singkat di
Instagram yang menampilkan kelucuan kucing-kucing dari berbagai negara di dunia
membuat saya tergoda mengasuh kucing.
Kucing-kucing itu, dalam pandangan saya,
mengalihkan perhatian kami sekaligus menstimulus produksi hormon oksitosin yang
membuat manusia merasa lebih bahagia. Kami sadar, di usia pernikahan kami ini
selayaknya kami sudah berketurunan. Kenyataan rupanya punya alurnya sendiri.
Anggap saja dengan memelihara kucing itu kami tengah melatih tanggung jawab dan
kesabaran kami sebagai pengasuh, hingga kelak pada saatnya kami sudah
benar-benar siap mengasuh seorang anak.
Niatan itu kemudian saya sampaikan ke istri. Meski
tak langsung mengiyakan, ia pelan-pelan menerima usulan saya itu dengan catatan
kucingnya harus bagus. Tanpa niatan merendahkan derajat kucing lain, istri saya
memang tak menyukai kucing kampung. Alasannya, bulunya yang pendek dan kasar
mengingatkannya pada bulu tikus.
Berangkat dari kesepakatan itulah kami meluncur ke
Jepara, lalu pulang kembali ke Semarang dengan dua bocil. Si putih berwajah
galak saya namai Marco. Benar sekali
jika Anda menebak itu terinspirasi dari sosok novelis Student Hidjo. Sifatnya
yang galak dan agresif mengingatkan saya pada aktivis Sarekat Islam Merah itu.
Untuk Jenny, nama ini tiba-tiba saja terlintas
lantaran saat itu saya tengah demen-demennya memutar lagu-lagu band asal Jogja,
Fstvlst. Jenny adalah nama band tersebut sebelum kemudian berganti nama menjadi Fstvlst. Dan
pada Jumat 4 Januari 2021 silam saya pun kemudian mengunggah foto keduanya ke
Instagram, memperkenalkan dua keluarga baru kami ke khalayak.
KUCING
Anggora muntah itu biasa. Mereka sengaja memakan rumput untuk memancing perut
mereka memuntahkan bulu-bulu yang bersarang di lambung. Sebagai binatang yang resikan,
kucing punya kebiasaan mandi (baca: menjilati bulunya) berkali-kali dalam
sehari.
Dan lantaran bulu Anggora yang lebat dan halus,
maka papila filiformis atau duri-duri kecil nan kasar yang menancap di
lapisan lidah mereka akan dengan enteng mengangkut bulu-bulu rontok itu masuk
ke perut. Maka ketika memergoki sore itu Marco muntah, saya menduga ia tengah
berupaya menunaikan tugasnya demi kestabilan metabolisme tubuhnya.
Keanehan terjadi manakala pada malam
hari intensitas muntah Marco terus bertambah, dan muntahannya tercecer
sembarangan di ruang tamu. Istri saya yang terbangun pada malah hari mendapati Marco
sudah mulai lemas dan tatapan matanya pun mulai kurang bersemangat, tampak
sayu tak seperti kebiasaannya yang selalu menatap tajam dan menampilkan air
muka galak.
Ini kali pertama Marco sakit sampai tubuhnya
selemas itu, dan ini tentu saja membuat kami khawatir. Pagi harinya kami
bersepakat mengantar Marco ke klinik. Pukul setengah delapan kami bergegas
mengendarai Vega R yang sudah setia menemani saya 12 tahun belakangan.
Kesialan datang dan kita hanya bisa
pasrah menerima. Belum juga sepuluh menit kami jalan, ban belakang motor kami
tertusuk paku. Mau bagaimana lagi, istri saya pun langsung berinisiatif memesan
ojek daring untuk melanjutkan perjalanan. Semantara itu saya merutuki keadaan
di pos tambal ban.
Dari pesan WA istri saya mengabarkan klinik hewan
menolak Marco lantaran sepagi itu antrian untuk pengobatan sudah penuh. Pihak
dokter menyarankan agar Marco dirujuk ke rumah sakit tertentu. Saya mengiyakan
saat istri saya meminta pendapat terkait saran dokter itu. Agak mahal sedikit
tak apa, yang penting Marco tertangani, pikir saya saat itu.
Sementara motor masih dalam
penanganan tukang tambal ban, istri saya melanjutkan perjalanan ke rumah sakit
rujukan dengan menumpang ojek. Untunglah di sana penanganan berjalan lancar.
Cairan infus segera dialirkan melalui suntikan di kaki depan Marco, meski
kemudian ia terus saja muntah hingga cairan hijau keluar dari mulutnya. Istri saya sedikit lebih tenang, dokter menyatakan Marco negatif panleu.
Ia merasa Marco tak akan terserang panleu
lantaran sudah menyuntikkan vaksin ke Marco sebanyak dua kali. Selain
itu, Marco bukanlah sejenis kucing garong yang terbiasa kelayaban dan baku
hantam dengan kucing kompleks, baik untuk sekadar mencari pasangan kawin maupun
perebutan kekuasaan. Virus itu biasanya ditularkan melalui kucing liar yang sudah terinveksi.
Istilah kedokteran biasa menyebut panleu
dengan panleukopenia atau feline distemper. Sederhananya, ini
adalah sejenis virus paling mematikan yang biasa menggasak jatah hidup kucing.
Diawali dari muntah, demam, hingga mencret, kucing yang tertular virus ini
secara senyap dan tepat dalam hitungan satu-dua hari bakal sekarat sampai pada akhirnya sakratul maut.
Harapan hidup kucing yang kesambet virus ini juga sangat tipis. Mereka yang kuat bertahan sampai lima harilah yang konon bakal
lolos dari maut. Setelah satu kantong infus habis, oleh
dokter yang memeriksa Marco diperkenankan pulang dengan sekian obat yang harus
ditebus.
Di satu sisi ada sedikit keyakinan Marco hanya
terserang mencret biasa, di sisi lain kami melihat kenyataan berbeda. Marco
justru tampak seperti benar-benar terserang virus itu.
Sorenya, sesampai di rumah, Marco justru semakin muntah
dan berak darah. Ingus kental meler dari hidungnya, sementara bau amis darah
terus saja menguar dari muntahannya. Saat itu Marco masih cukup
bertenaga. Bahkan ketika kami berdua membersihkan darah yang tercecer di perut dan
ekornya, ia masih sempat mengerang dan mencakar lengan saya.
Setelah memastikan bulu-bulunya cukup bersih dan
mengeringkannya menggunakan kain, saya membaringkan Marco di kandang. Sesekali
saya suapi ia air minum melalui pipet dan meloloskan obat ke mulutnya yang
seketika langsung ditolaknya. Ia kembali muntah dan setelahnya tampak kelelahan dan dengan cepat ia
tertidur. Kami agak lega melihat Marco tertidur dan tak gelisah lagi.
Malam itu pun saya berangkat tidur lebih awal,
sedangkan istri saya sampai tengah malam masih menyempatkan menengok Marco di
kandang. Ia kembali yakin Marco baik-baik saja dan akan sembuh saat melihatnya
tampak lebih segar dan bergerak-gerak seperti biasanya, serta mengeong begitu
melihat dia.
Hari itu terasa begitu panjang dan melelahkan.
Kami hanya mengurusi seekor kucing sakit, tapi seluruh pikiran dan tenaga kami benar-benar tercurah pada makhluk kecil yang dua tahun belakangan sangat berharga bagi kami.
Marco bukan kucing istimewa. Ia seperti kucing jantan pada umumnya, sangat
aktif dan hanya akan tenang saat mengantuk.
Kepada kami, orang yang mengurusnya, ia tak segan
menggigit dan mencakar jika perutnya disenggol. Terlebih jika bijinya yang dicubit,
ia akan sangat murka. Lantaran gemar sekali nguwel-uwel perut Marco, sudah tak terhitung lagi berapa kali istri saya kena
cabikan kukunya hingga berdarah. Beruntung, saya hanya satu kali kena cakaran
cukup parah. Itu karena saya memaksa ia masuk rumah saat kami berdua hendak berangkat
kerja.
Yang berkesan dari Marco ialah ia selalu ingin
tahu apa yang tengah kami kerjakan di rumah. Ia, misalnya, akan dengan tangkas
masuk ke kamar mandi ketika saya hendak merendam baju. Atau ketika istri saya
hendak menyiram tanaman, Marco seolah-olah ingin terlibat.
Seandainya Marco adalah manusia, tentu saja ia
adalah lelaki yang doyan kumpul bareng kawan tongkrongan. Ini terlihat,
misalnya, ketika kami sedang kedatangan tamu. Ia seperti ingin ikut hadir
sambil menguping pembicaraan kami. Dan satu hal yang bagi saya sendiri terasa
sangat personal ialah, ia selalu menyambut kedatangan saya di rumah.
Dengan segera Marco akan melompat ke meja nakas
dekat jendela dan melirik dengan tajam melalui kaca jendela begitu mendengar
suara motor saya terparkir di teras. Lalu dengan suaranya yang jauh dari kesan
jantan, ia akan mengeong begitu melihat saya membuka pintu.
Kenangan tentang Marco pun pada akhirnya hanya jadi milik masa lalu. Saya begitu kaget ketika menjelang Subuh dari teras
belakang rumah terdengar istri saya berteriak memanggil-manggil dengan panik. Dengan
kesadaran yang masih mengambang seketika saya melompat dari ranjang,
bergegas menuju sumber suara. Istri saya tengah gemetar di depan kandang lantaran
menjumpai Marco tak bergerak.
“Bangunin, Marco, Beb. Bangunin Marco….”
Saya menyentuh hidung Marco dan mendapati ia sudah
tak bernapas, dan dari sudut matanya terlihat ia memejam begitu rapat seolah habis menahan rasa sakit yang paripurna. Segera saya berbalik merangkul istri saya lalu mengajaknya ke
ruang tengah. Di situ kami duduk berdua, dalam gelap dan dingin pagi. Saya
biarkan ia membenamkan wajahnya di dada saya. Seketika terasa ada yang basah
dan hangat. Ia gemetar, dan saya memeluknya erat, erat sekali.
Adiós Marco…
Batursari,
11 Februari 2022
Komentar
Posting Komentar