Di Semarang, Buku-Buku Bekas Itu…

Jika ketersediaan buku bekas dan diskon rutinan di toko buku membuat sebuah kota menjadi lebih menyenangkan untuk ditinggali, tentu saja terbakarnya lapak buku bekas di Pasar Johar pada 9 Mei 2015, dan bangkrutnya toko buku Toga Mas Semarang pada 18 Februari 2017 silam, adalah kabar buruk bagi penyuka buku dan penghayat literasi di Semarang.
Dua peristiwa itu bahkan sempat membuat saya yang dalam sepuluh tahun belakangan tinggal di kota Semarang sering merasa kehilangan tempat berburu buku. Namun bukan berarti tidak ada lagi lapak buku bekas dengan harga terjangkau. Belum lama ini selama tiga hari berturut-turut saya menyengajakan diri menyambangi semua lokasi lapak buku bekas di Semarang yang saya ketahui.
Selama perburuan tiga hari itu saya pun bertaruh: kira-kira buku seperti apakah yang bakal saya dapati hari itu. Sebelum saya mulai bercerita, pembaca sekalian bolehlah memperbaiki posisi duduk atau menyeduh teh celup terlebih dahulu biar lebih nyaman saat membaca cerita saya kali ini. Mari.

Hari Pertama, 30 Maret 2018.
Sinar matahari siang itu terasa kian membikin ketek saya basah saat saya bersama seorang rekan melaju mengendarai sepeda motor, dari arah Peterongan menuju Pasar Bulu. Hari itu kami bersepakat untuk menengok lapak buku bekas di Pasar Bulu lantai 3.
Jika pembaca sekalian bukan orang Semarang dan berniat ke sana tetapi merasa malas membuka aplikasi penunjuk arah di telepon pintar, cukuplah bertanya ke orang-orang arah ke Tugu Muda atau Lawang Sewu. Di sebelah selatan, tepat di sebelah barat Museum Mandala Bakti yang tengah dipugar atau di sebelah kiri arah Jalan Mgr. Sugijapranoto, lihatlah gedung dengan banyak jendela dengan warna dinding bercorak merah. Itu tandanya pembaca sekalian sudah sampai.
Memasuki pasar melalui lobi, banyak kios yang tutup. Dua eskalator di sebelah kanan. Naik sampai di lantai tiga, belok kiri. Lapak buku ada di deret paling belakang. Tak semua lapak terisi. Tiap kios berukuran kira-kira 2 x 3 meter. Penjual buku di sini mayoritas pindahan dari Pasar Johar setelah kebakaran.
Boy Chandra, Eka Kurniawan, Tere Liye, atau Armijn Pane berjejer dalam kesialan yang sama: dibajak. Tapi pembaca tak usah mempersoalkan banyaknya buku kawe di sini. Selama negara Cina masih berdiri, segala yang aspal saya kira akan tetap dianggap biasa-biasa saja. Di gedung ini juga tidak ada kipas angin raksasa ataupun AC sentral seperti halnya kantor bank atau lobi hotel bintang lima. Jadi bersiap-siaplah untuk berleleran keringat.
Salah satu kios yang sempat saya udal-udal ialah lapak Mas Anjar. Saat masih di Johar, saya kerap memborong buku dari kiosnya. Yang khas darinya ialah ia selalu menghargai tinggi buku karya tokoh bersejarah, meski itu bukan buku lawas dan sudah banyak diobral di pameran sekalipun. Saya sarankan pembaca jangan terlalu lama menawar padanya. Kalau berani ambil, kalau tidak lewatkan saja.
Tatanan buku di kiosnya lebih terkesan tak tertata. Beberapa majalah bahkan terserak. Beberapa buku di rak minta diperhatikan: biografi Lenin terbitan Rusia, biografi Ki Hajar Dewantara, Hatta, novel-novel Grafitti Pers, kamus, juga komik Tionghoa klasik. Ada tiga buku bekas yang saya sukai dan lekas-lekas saya angkut: Mengukur Kesejahteraan karangan Stiglitz, Sen, dan Fitoussi (2011), Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur! karya kerani Muhidin M. Dahlan (2005) dan terakhir Membawa Barang Ke Kesilir (2006), sebuah memoar para Bruder Belanda selama masa interniran di Pulau Jawa, 1946.
Pitu lima, kata Mas Anjar. Sewidak, kata saya. Transaksi cepat saja.
Di sebelah kios Mas Anjar ada kios Bu Mamik, beliau istri almarhum Pak Edi Johar yang termashur itu. Di situ saya berjodoh dengan tiga buku: dua karya Arswendo Atmowiloto yang ia tulis semasa mendekam di penjara setelah dinyatakan bersalah telah melakukan penghinaan terhadap agama Islam awal tahun 1990an, yaitu Menghitung Hari (1994) dan Surkumur Mudukur dan Plekenyun (1995), serta buku tentang tokoh pendiri koran Suara Merdeka berjudul Hetami: Kewartawanan, Pers dan Suara Merdeka (1995). Rekan saya turut membeli buku yang sama, karena memang ada stok dobel.
Di kios Bu Mamik buku tertata rapi. Di dalam lemari banyak buku berbahasa Inggris dan majalah lawas. Ada pula setumpuk majalah Basis edisi tahun 1950an. Iseng-iseng saya mengambil satu dan membuka-buka halamannya. Ada puisi Darmanto Djatman. Lain kali bakal saya angkut semua majalah ini. Juga komik-komik lawas dan novel-novel Pustaka Jaya yang beberapa di antaranya sudah banyak yang saya miliki.
Setelah hampir dua jam bertungkus-lumus dengan buku dan udara sumuk, kami pun beruluk salam, pamit. Beberapa langkah sebelum menuruni tangga, tatapan saya menyerempet buku tipis karya Kuntowijoyo yang berjudul Maklumat Sastra Profetik (2006) berjejer di lapak sarat buku palsu. Langsung saya ambil saja. Asli. Bayar. Harganya tak lebih mahal dari sebungkus rokok kretek.
Perburuan hari itu selesai bersamaan suara azan Asar yang terlantun entah dari pelantang suara masjid yang mana…

Hari Kedua, 31 Maret 2018.
Menjelang Zuhur saya bersama istri meninggalkan rumah kontrakan kami di Peterongan. Ada empat tempat yang hendak kami tuju hari ini: lapak Pak Anwar, lapak buku di pasar relokasi Johar di dekat Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Kota Lama, dan Stadion Diponegoro.
            Yang pertama kami kunjungi jelas lapak Pak Anwar, karena paling dekat. Letaknya di daerah Sompok. Untuk ke sana cukup mudah. Jika pembaca mendatangi lapak ini dari arah Jl.Kompol Maksum, setelah bangjo Sompok belok kiri sampai bertemu perempatan Bugel lantas belok kanan ke Jalan Peterongan Tengah Raya. Lihat sebelah kanan jalan, tepat di sebelah warung tegal.
Lapak buku Pak Anwar Hakim kecil saja. Bangunan kayu dengan separuhnya berisi onderdil kipas angin dan mesin tik manual. Selain jualan buku, Pak Anwar juga membuka jasa reparasi. “Sinau dewe,” ucapnya pelan. Sudah sejak tahun 1990an Pak Anwar melanjutkan usaha jualan buku milik almarhum ibunya. “Tadinya di Sompok Lama, bar dibangun gedung swalayan njur pindah kene,” terangnya sembari memuntir-muntir mur mesin kipas angin yang tengah ia perbaiki.
Boleh dikatakan persediaan buku di lapak Pak Anwar didominasi buku teori perkuliahan, seperti ekonomi, teknik, hukum, hingga fisika dan kimia, yang sebagian berbahasa Inggris. Penataan buku di sini pun tampak sangat kurang terurus. Debu tebal melekat di semua buku. “Gak ada tenaga, Mas,” kilahnya seolah tak ingin disalahkan karena tak menata dan membersihkan buku-buku jualannya. Namun, jika kita berkenan agak repot-repot menyelidik di antara tumpukan buku di sini, bisa saja kita dapat buku bagus.
Siang itu ada lima buku yang menarik perhatian saya: Memahami dan Menikmati Jazz karya John F. Szwed (2008) dan buku Anak-anak yang Berotak Kanan di Dunia yang Berotak Kiri susunan Jefrey Freed dan Laurie Parsons (2006), serta tiga buku berbahasa Inggris, yaitu Science Fiction Stories (1975), The Queen of Shades and The Other Stories karya Aleksandr Pushkin (1988), dan The Man Who Would Be King karya Rudyard Kipling (1975). Selembar uang kertas biru saya serahkan tanpa ada kembalian. Tidak terlalu mahal, batin saya.
Seperti ada yang menebal di tangan saya selepas belanja buku di Pak Anwar. Tak apalah, nanti sesampai di tempat relokasi Pasar Johar di daerah MAJT, saya bisa menyempatkan mencari air untuk cuci tangan. Dari Peterongan ke sana tak sampai sepuluh menit, terutama jika lewat Jalan Gajah. Di bangjo Kartini sebelum MAJT kita mesti bersabar. Jalan yang sempit dan kendaraan yang melimpah membuat persimpangan ini selalu padat nyaris setiap pagi, siang, dan saat jam pulang kantor.
Jalan menuju area relokasi lumayan bergelombang. Debu terangkat ke udara saat kendaraan lewat. Jika hujan turun, kondisi jalan sangat becek. Lokasi lapak buku ada di Blok E. Kita bisa memarkir sepeda motor tepat di bibir lorong blok tersebut. Jika membayangkan blok ini mirip lorong-lorong kios buku di Taman Pintar Jogja, itu terlalu berlebihan. Tanpa lampu penerangan yang memadai, serta campuran bau antara urin kuli pasar, udara pengap pasar, serta tahi tikus yang mungkin menyelip di pojok-pojok kios. Tak ada aroma buku di sini. Tahu gitu tadi bawa masker, istri saya agak menggerutu.
Hari itu hanya ada tiga lapak buku yang buka. Dua di antara pemilik kios tengah asik mengobrol ketika saya datang. “Cari buku apa” sudah seperti sapaan otomatis. Kami berhenti di kios paling ujung, tepat di depan lapak jualan Alquran. Kios milik Pak Komari. Jangan bayangkan buku-buku di sini bakal tertata rapi seperti di toko buku Gramedia. Tak ada lampu penerangan di sini, apalagi kipas angin. Beberapa majalah menumpuk di pojokkan. Ada Panjebar Semangat, FHM, Femina, Gadis, serta setumpuk jurnal hukum terbitan UNDIP. Istri saya memilih mengambil Kartini dan membaca kolom Oh Mama, Oh Papa di luar kios.
Meski tak ada buku yang cocok, seringkali saya mencari-cari alasan agar ada saja buku yang saya beli. Membayangkan bahwa buku itu suatu saat akan saya perlukan untuk menulis esai, misalnya. Dari kios ini saya menenteng dua buku tipis, Menghitung Hari milik Arswendo Atmowiloto (1984) dan roman Janda karangan La Rose (1977), seharga sepuluh ribu rupiah. Dua hari berturut-turut saya membeli dua buku karya Arswendo dengan judul yang sama meski dengan harga yang jauh berbeda. Tak ada salahnya pula punya buku dobel.
Keluar dari lapak Pak Komari, debu yang menepel di tangan saya kian bikin risih. Tetapi mencari air untuk cuci tangan di pasar relokasi ini saya kira akan lebih menyusahkan ketimbang meyakinkan para penjual buku bekas bahwa turut mengedarkan buku bajakan adalah salah satu kejahatan. Kami pun gegas meninggalkan pasar relokasi dengan rasa tak nyaman di tangan. Masih ada satu jam setengah waktu tersisa untuk menyambangi lapak di Kota Lama dan Stadion Diponegoro sebelum senja sepenuhnya mengendap.
Tak sampai melebihi durasi tiga lagu Via Vallen waktu yang kita perlukan untuk sampai ke Kota Lama jika kita mengendarai sepeda motor dari pasar relokasi. Di Kota Lama, ada dua lokasi di mana pelapak buku bekas biasa menggelar dagangannya. Tepat di seberang Satlantas Polrestabes Semarang di Jalan Letjen Soeprapto, ada sebidang tanah luas tempat beberapa kios semi-permanen menjajakan barang-barang antik dan lawasan. Mereka bernaung di bawah paguyuban Koka Kola, Komunitas Klitikan Antik Kota Lama.
Di area klitikan barang-barang lawas ini, tak semuanya menjual buku. Hanya kios milik Mas Obeng saja yang mengkhususkan menjual segala macam barang-barang kertas, dari buku, majalah, kalender, dokumen, hingga koran lawas. Khusus hari Sabtu dan Minggu, Mas Obeng juga melapak di dekat emperan toko Jalan Sendowo. Dan di situlah saya menyamperinya sore itu. Wajah Mas Obeng tampak legam. Ia seperti tengah kelelahan dan kepanasan.
Di lapak ini, jika kita mau telaten dan rela berurusan dengan debu yang bisa bikin kau bersin-bersin dua hari tak kunjung sembuh, buku antik dan koran lawas berisi informasi penting sangat mungkin bisa kita peroleh. Untung-untungan, tentunya. Bacaan liar era kolonial dan buku-buku karya Soekarno dan Pramoedya, serta tabloid Star Weekly, pernah saya dapatkan di sini.
Namun petang itu sepertinya tak ada satu pun buku atau koran yang menggoda saya, meski sudah saya paksa-paksa mencari-cari alasan untuk membeli. Sekadar basa-basi dengan Mas Obeng. Bersamaan dengan itu, seorang lelaki tua berbaju agak kebesaran terlihat memborong satu tas kresek besar berisi majalah Panjebar Semangat. “Saya senang wacan Jawa, di rumah ada ribuan,” sambutnya antusias ketika saya iseng bertanya untuk apa memborong sebanyak itu—sungguh basa-basi yang bodoh, jika saya ingat-ingat kemudian kenapa saya bertanya seperti itu.
Setelah tak dapat apa-apa di lapak Mas Obeng, tujuan terakhir hari ini ialah deretan kios buku di Jalan Stadion Barat, atau tepatnya belakang Stadion Diponegoro di Jalan Mangunsarkoro. Jika pembaca sekalian dari Simpang Lima, silakan ke arah timur. Ketemu perempatan pertama, belok kiri sekitar dua ratus meter. Kompleks lapak buku bekas di sini sudah ada sejak awal 1990an. Buku-buku yang dijajakan pun sangat beragam, dari yang lawasan sampai (lagi-lagi, huh!) buku kawe, dari buku kuliah hingga novel sepuluh ribuan. Ada pula persewaan buku yang akhir-akhir ini memutuskan menutup lapaknya, di antaranya Persewaan Indra yang memiliki ribuan komik.
Di kompleks lapak ini saya tak memiliki kios langganan. Dulu saya sering memprioritaskan belanja ke Johar ketimbang di sini. Untuk mendapat buku bagus sesuai incaran, akan sia-sia jika kita mengandalkan bertanya pada penjualnya. Jika pembaca mencari novel Layar Terkembang, misalnya, banyak dari mereka yang lekas menimpali, “oh, novelnya Idrus ya,”—jangan heran, tidak semua pedagang buku bisa menghapal judul buku sekaligus nama pengarangnya tersebab dianggap tak penting atau memang banyak yang tak sanggup mengingat.
 Atau jika pembaca bilang tengah cari novel, jangan emosi jika yang lekas mereka sodorkan ialah buku-buku kawe dengan cetakan buram dan seringkali dengan penataan sampul yang agak miring. Tekadilah dengan kesabaran yang tulus, datangi satu per satu lapak tersebut dan minta ijinlah untuk melihat-lihat. Niscaya, buku-buku bermutu bakal memanggilmu di antara tumpukan buku Boy Candra maupun kamus-kamus bajakan.
Sore itu, ada lima buku yang tertangkap radar”. Dari lapak sisi ujung selatan, bersebelahan bengkel motor, saya ambil tiga buku seharga lima puluh ribu: Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur susunan Sindunata, editor (2003), Oposisi Sastra Sufi garapan Aprianus Salam (Tanpa Tahun), dan buku laporan jurnalistik Menembus Sarajevo karya T. Taufiqulhadi (1994). Ketiganya saya dapatkan setelah terlebih dahulu mengawaskan pandangan ke pelbagai sisi rak buku dan mencari-cari sendiri.
Menjelang pulang karena sudah jam lima sore, perhatian saya mendadak terarah pada dua buku yang tertumpuk di kios dekat tempat saya memarkir sepeda motor. Heran saja, saat awal datang saya merasa tidak melihat dua buku tersebut. Dua buku itu bersampul keras, terlihat paling seksi di antara tumpukan buku pelajaran. Buku berjudul Bulan Sabit dan Matahari Terbit susunan Harry J. Benda (1980) dan Indonesia Tertawa: Srimulat Sebagai Subkultur karya Anwari (1999).
Semula, ada ketakutan bila dua buku itu dibandrol ratusan ribu rupiah. Di media sosial, harga dua buku itu mendekati dua ratus ribu. Betapa leganya perasaan saya saat berhasil menego keduanya dengan harga yang menurut saya sangat murah. Perburuan hari itu pun berakhir bungah meski lembaran uang di dompet semakin kesepian.

Foto: Lapak buku di kompleks Stadion Diponegoro
Hari Ketiga, 4 Maret 2018.
Jika saya menyebut ada lapak buku di area Stadion Diponegoro, itu artinya ada dua jawaban. Deretan lapak buku di sepanjang Jalan Stadion Timur, seperti yang sudah saya ceritakan pada hari kedua, itu pertama. Kedua, lapak buku, majalah, komik, dan koran bekas yang hanya menggelar dagangan di Jalan Mangunsarkoro tiap hari Minggu pagi. Di tempat ini memang biasa digelar pasar tumpah tiap akhir pekan. Dari bawang merah hingga poster Bung Karno, di pasar dadakan ini semuanya tersedia.
Pemilik lapak itu bernama Pak Yanto. Darinyalah saya seringkali nekat membeli buku-buku berbahasa Inggris atau Belanda hanya karena harganya yang kelewat murah. Pernah, sebuah buku kumpulan karangan dari Marx, Engel, Darwin, serta beberapa filsuf dunia lainnya, dihargai lima belas ribu. Saya jelas tak kuasa membacanya karena berbahasa Belanda tapi saya senang bisa memilikinya.
Hampir semua koleksi majalah Tempo saya berasal dari Pak Yanto. Harga majalah biasanya berkisar antara dua hingga sepuluh ribu, bergantung ketebalan dan kondisi majalah. Sekardus penuh majalah Intisari pernah saya beli dengan harga sangat bersahabat. Untuk itulah saya tak pernah tanggung memborong majalah darinya.
Nah, pagi itu saya kembali mengunjungi lapak Pak Yanto, setelah dua minggu berturut-turut absen karena urusan mudik dan acara pelatihan menulis di luar kota. Sekitar pukul tujuh tepat saya sampai di sana. Pengunjung pun sudah mulai berdesakan mengerubungi lapak jualan baju bekas sepuluh ribuan hingga obat anti kurap dan kutil. Tak terkecuali lapak Pak Yanto. “Senang, gelem?” Maksudnya, dia menawarkan setumpuk majalah Senang yang terbit awal tahun 1990an. Tentu kebetulan sekali, sudah lama saya ingin mengoleksinya. Majalah ini akan mendampingi Humor yang sudah saya koleksi.
Tak pernah lama-lama transaksi saya dengan Pak Yanto. Tersebab selalu membeli dalam jumlah yang banyak, harga yang ia ajukan pun tak pernah melebihi dari biasanya. Sebanyak tiga puluh tiga majalah Senang saya bawa pulang pagi itu. Melintasi Jalan Mataram, saya mampir bersantap bubur kacang hijau. Semangkuknya empat ribu rupiah.
Tiga hari menyelusuri seluruh lapak buku bekas di kota Semarang akhirnya usai sudah. Tak sampai lima ratus ribu uang yang saya keluarkan selama tiga hari itu. Keberanian berbelanja buku tentu karena tanggal muda. Namun, pertemuan demi pertemuan dengan orang-orang yang masih bersetia berjualan buku bekas adalah pengalaman yang akan membuat kota Semarang (masih) memiliki pikatnya. Lapak-lapak buku bekas itu tentu tak tercatat sebagai tempat-tempat yang mesti dikunjungi saat mampir ke kota Semarang. Tetapi bagi pecandu dan pemburu aksara, tidak ada tempat paling berkesan selain buku-buku berharga murah. Benar kata Gabriele Zevin si pengarang The Storied Life of A.J. Fikry. Apalah arti sebuah kota tanpa sebuah toko buku lapak buku bekas. Sampai jumpa di Semarang![]

Widyanuari Eko Putra
22 April 2018

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer