TENTANG HAIKU: SUNYI ITU, INGATAN ITU, AIRMATA ITU…
1.
Jepang tengah merebut perhatian saya belakangan ini.
Penyebabnya, seorang penulis muda dari Bogor mengirimkan naskah kumpulan cerpen
ke penerbit yang saya kelola dan saya pun menyambut baik naskah tersebut. Saya
tergoda untuk menerbitkan karyanya karena penulis ini secara konsisten menulis
cerpen-cerpen bukan hanya berlatar Jepang tetapi juga benar-benar menghadirkan
subjek “hidup” manusia Jepang lewat ceritanya itu. Ia seperti menangkap ruh
manusia Jepang mutakhir lantas menghadirkannya dalam teks-teks berbahasa
Indonesia. Lebih spesifik, ia menghadirkan napas grotesque ala Natsuo Kirino dalam teks-teks karangannya. Ini
membuat saya diingatkan kembali betapa pengaruh Jepang pada kita tak sebatas
pada merebaknya kendaraan merek Yamaha dan Honda saja.
Dalam urusan sastra, Jepang sudah puluhan tahun silam
menggoda penulis-penulis kita. Lebih lama dari ketertarikan publik sastra kita
pada gaya kepenulisan grotesque,
haiku lebih dulu menyita perhatian. Kita bisa melacak proses masuknya haiku
dalam sastra Indonesia lewat esai Haiku
dan Sastra Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal karya Hendragunawan S. Thayf
(rumahlebah, 2016-2017). Sejak tahun 1960an, para pengarang kita merasa perlu
membincang haiku dalam pembicaraan sastra Indonesia. Penyair Solo Hartojo
Andangdjaja, misalnya, pernah menulis ulasan tentang haiku di majalah Sastera,
No.5, Mei 1963. Penerjemahan beberapa haiku karya pengarang kondang Jepang, di
antaranya Matsuo Basho, Buson, dan Issa, ke dalam bahasa Indonesia dipelopori
oleh Hartojo (Thayf, 2013). Haiku juga sempat mengundang perhatian penyair cum
politisi komunis Njoto. Di Harian Rakjat , 26 Oktober 1961, ia menulis Variasi Haiku: Kepada Yoko. Sepuluh bait
haiku bercerita tentang Hiroshima, gunung Fuji, dan optimisme orang Jepang.
Njoto politisi tapi ia sanggup menulis liris, tak galak dan keras seperti Aidit. Kita simak baik-baik haiku dari Njoto berikut: bunga dilapangan/ hati berdetak/ dua pejuang
berpelukan….
Lalu apa sebenarnya haiku? Secara sederhana, masih menurut
Thayf, Andangdjaja mengartikan haiku sebagai “bentuk puisi paling alit, yang keseluruhannya terdiri atas
17 suku kata dan tersusun dalam tiga baris serta tidak bersajak”. Sedangkan
oleh Haiku Society of America, haiku
dirumuskan tak melulu dalam kaidah teknis, melainkan sebagai sebuah “puisi
singkat yang menggunakan bahasa citraan untuk membungkus esensi dari sebuah
pengalaman terkait alam atau musim yang secara naluriah terkait dengan keadaan
manusia…” Definisi itu agak sedikit berbeda dengan apa yang dipahami oleh para
pelaku haiku langsung. Thayf mencontohkan bagaimana seorang seniman haiku
menjabarkan pemahamannya atas haiku. Matsuo Basho, seorang penulis haiku (haijin)
termashur di Jepang, menjabarkan batas-batas estetika haiku menjadi tiga. Haiku
harus memiliki unsur kesunyian. Unsur kesunyian ini lebih karena haijin merasa
lebih memilihnya secara sadar. Oleh Basho pemahaman ini diumpamakan “seperti
ketika tengah berada di antara sajian berselera tinggi namun merasa cukup
dengan memilih menu sederhana.” Ada kesadaran untuk cukup memilih sesuatu yang
sederhana di antara sajian-sajian yang sebenarnya mungkin bernilai mewah.
Kesadaran untuk menguasai dan menahan diri. Selain itu, haiku juga harus memuat
nilai “keanggunan”. Artinya, ada nilai yang diyakini seperti halnya seseorang
yang tidak memandang seseorang berbusana kain biasa meski kita memiliki kuasa menggunakan
baju berbahan sutera. Dan terakhir, bahasa dalam haiku harus merangkum semacam
“kegilaan estetis”. “Bahasa terdapat dalam ketidaksejatian namun harus
digunakan dalam kesejatian”, tulis Basho.
Namun, selain tiga batasan itu, Basho juga mengingatkan
tentang perlunya memahami momen-momen penting dalam proses penulisan haiku.
Karena bagaimanapun, menulis haiku tak selalu tentang teknik. Katanya, “haiku
hanya tentang apa yang terjadi di tempat ini, pada saat ini.” Itu artinya,
Basho juga menganggap penting proses penangkapan momen puitik tersebut. Ada
tahap-tahap di mana haijin harus mampu “masuk” ke dalam objek yang hendak ia
tulis. Ia lepas dari keduniawiannya lalu masuk dan mencoba memasuki objek benda
dan peristiwa yang berhasil ia tangkap dan dalam waktu yang bersamaan
pengalaman itu juga “memasuki” diri si penulis. Antara objek peristiwa dan
penulis berkelindan tanpa harus saling menyingkirkan. Proses yang sungguh tak
pernah sederhana meski pada akhirnya hanya akan mewujud dalam puisi dalam tiga
larik pendek.
Setelah sebentar menengok definisi haiku, mari kita kembali
pada persoalan haiku dalam sastra Indonesia. Haiku lalu mulai ditulis oleh
penyair-penyair kita, meski tak semuanya memilih suntuk dan menerbitkan buku
khusus haiku. Capaian prestisius dalam penulisan haiku oleh penyair Indonesia
pernah diraih oleh penyair gimbal Saut Situmorang. Ia menulis haiku berbahasa
Inggris dan lalu memenangkan International Poetry Competition yang
diselenggarakan oleh New Zealand Poetry Society pada tahun 1992. Haiku itu
berjudul “such boredom”. Selain Saut, tercatat pula penyair dan akademisi Wing
Kardjo berhasil menerbitkan buku khusus haiku Pohon Hayat: Sejumput Haiku (Forum Sastra Bandung, 2002). Pembaca sekalian
ingin tahu seperti apa haiku terbaik dari Saut itu? Saya kutipkan dan sila
menerjemahkan dan memaknainya sendiri. Bagi kamu-kamu yang merasa pekok
berbahasa Inggris sebaiknya tak usah jengkel atau gemas sebab tak bisa memahami haiku “keren”
dari Saut berikut.
such boredom
the gold-fish swimming
measuring the aquarium
2.
Haiku tak sering tampil di media massa kita. Untuk ukuran publikasi
di koran, misalnya, haiku tak rutin tampil meski sesekali tetap saja ada yang
menuliskannya. Pada Sabtu, 27 April 2019 silam, Kompas menurunkan haiku berjudul Haiku Penanda Usia: kepada Kurnia Effendi karya Emi Suy. Sebuah
puisi yang memuat 16 bait haiku. Jika kita simak secara keseluruhan, haiku yang
Emi sajikan kali ini memang tampak sekali ingin tertib pada batasan-batasan
ruang gerak haiku. Ia menangkap momentum peristiwa ranting pohon meranggas,
daun jatuh di kolam, hujan, pagi yang berembun, cuaca yang dingin, dsb. Dan,
seperti pernah Basho singgung, Emi mencatat pelbagai peristiwa singkat yang
berhasil ia tangkap-maknai. Ciri khas haiku yang merespons peristiwa alam
sebagai manifestasi tertinggi dari kepekaan penyair hadir di bait-bait
puisinya. Rasakan tiga bait berikut:
Musim kemarau
Ranting-ranting meranggas
Menunggu hujan
Di musim panas
Daun-daun menguning
Terbang melayang
Telaga tenang
Selembar daun jatuh
Diam terapung
Yang berhasil termaknai dari bait pertama ialah tentang
bagaimana memaknai sebuah penantian. Hujan tak kunjung runtuh, dan harus ada
yang mesti pohon itu korbankan demi hidup yang lebih panjang. Ranting-ranting
ia luruhkan, daun-daun ia gugurkan, kehidupan mesti terus berjalan. Penyair memasuki khasanah inderawi
ranting-ranting pohon yang dari hari ke hari bersetia menanti air hujan
memberinya “nyawa” baru, demi tunas-tunas muda yang baru. Pesan yang sama pula
yang ingin penyair sampaikan di bait kedua—kali ini melalui objek daun yang
menguning lalu terempas angin. Dan di bait ketiga, daun kering itu pun jatuh ke
permukaan telaga yang tenang. Tiga bait ini adalah hasil dari apa yang penyair
tangkap saat mengamati pohon, daun, dan ranting pohon. Antara bait satu dan
lainnya hadir untuk saling menguatkan suasana dan pesan yang hendak
disampaikan: tentang kesunyian, kesekejapan, dan eksotisme lanskap suasana di
sebuah telaga penuh pepohonan. Baru pada bait empat sampai delapan, penyair
mulai menggeser pandangannya menuju ke dalam rumah. Memasuki rumah, penyair
bergerak memasuki lanskap ruang dengan waktu yang telah berganti. Tak lagi
kemarau, kini musim hujan telah datang. Aku-lirik menatap peristiwa dan
benda-benda di dalam rumah sebagai pemantik ingatan-ingatan di masa lalu.
Sajadah basah
Memandang bingkai foto
Teringat ayah
Pintu berderit
Kenangan lalu lalang
Masa kecilku
Tampias hujan
Jendela kayu basah
Mata menggenang
Pagi merambat
Jejak embun di daun
Cintamu sejuk
Di bingkai foto
Kenangan masa kecil
Bermain bekel
Rumah itu ingatan tentang orangtua, dan Emi memilih berkisah
tentang ayah. Di tiga bait ini pembaca bisa mulai menapaki pelbagai peristiwa
di dalam rumah itu yang selalu saja terarah pada melankolia. Kenangan tentang
masa kecil datang sebab peristiwa sepele dan sederhana. Memandang sajadah ia
ingat ayah, mendengar pintu berderit ia ingat masa kecil, melihat bingkai foto
ia ingat indahnya bermain di masa kecil. Yang Emi tuliskan di sini adalah
benda-benda yang tampaknya tak pernah jauh dari hidup kita. Namun, ada proses
dan jarak waktu yang memungkinkan hal-hal biasa itu justru merangsang suasana
haru muncul. Saya membayangkan aku-lirik dalam puisi ini, yang sangat mungkin
adalah masa lalu penyair itu sendiri, tengah mengisahkan kepulangannya menengok
rumah di kampung halaman setelah lama ia tinggalkan. Dengan demikian ada rasa
kangen dan ingatan yang silih berganti muncul di ingatannya. Dan hal itu
penyair suguhkan dalam lesapan bait-bait pendek haiku. Dan pada bait-bait
selanjutnya, penyair tampaknya tak hendak mencoba melepaskan diri dari “kekang”
nostalgia. Ia memilih menikmati semuanya itu: sunyi itu, kesendirian itu,
lesapan ingatan yang sesekali menjadi luka dan sisanya menjadi airmata itu…
Terus berjalan
Menyusuri setapak
Mung mampir minum
Cuaca dingin
Tubuh menggigil hebat
Di perapian
Sehelai rambut
Rontok dari kepala
Nikmat berkurang
Di meja makan
Sebutir nasi jatuh
Dimakan semut
Wangi melati
Teh yang baru kuseduh
Ada wajahmu
Pagi bergulir
Embun tak sia-sia
Basahi daun
Selendang tua
Ibu sabar menimang
Masa kecilku
Selembar kain
Peninggalan ayahku
Terlipat zaman
2009
Widyanuari Eko Putra
4 April 2019
Komentar
Posting Komentar