MENDERITA PADA MASA TUA
Gara-gara pernah membaca novel Rumah Perawan karya Yasunari Kawabata, saya sempat percaya Jepang
adalah negara terbaik bagi seseorang untuk menikmati hari tua. Dikisahkan dalam
novel itu tiap lelaki tua dan punya uang lebih, mereka berhak menikmati
fasilitas istimewa tidur seranjang dengan gadis belia yang menyediakan tubuhnya
dalam kondisi tanpa busana. Penyedia jasa tersebut sadar para lelaki uzur itu
sudah keok untuk urusan tarung burung
meski nafsu birahi mereka masih meluap-luap. Untuk itulah layanan ini hanya
menyediakan layanan tidur bersama. Pelanggan dipersilakan bernostalgia dengan
menyentuh atau memandang sepuasnya sepasang susu yang ranum dan bokong yang
mulus atau boleh juga agak sedikit meraba-raba rambut tipis di sekitar liang
kemaluan gadis yang dikondisikan
untuk tidur itu. Aktifitas intim dan sejenisnya tidak diperkenankan. Tetapi
bukankah fasilitas semacam ini masuk kategori istimewa? Bayangkan saja hal
semacam ini terjadi di Indonesia. Pembaca budiman tahulah siapa kiranya yang
bakal pertama bikin aksi penolakan dan demonstrasi.
Novel itu membuat saya mengambil kesimpulan sederhana jika Jepang adalah negara paling memanusiakan kaum orang tua. Simpulan yang sebenarnya sangat terburu-buru ini kian menguat setelah saya ingat semasa awal-awal kuliah pernah menonton video porno yang menjadikan lelaki bangkotan sebagai aktor. Rupanya sungguh benar-benar tua terkecuali dengan kondisi burungnya. Kami para mahasiswa kurang kasih sayang biasa menjuluki aktor tersebut Eyang Sugiyono. Semua pandangan agak mesum itu berubah setelah saya membaca kisah Akira Ujita (Jawa Pos, 3 Februari 2019). Akira adalah karyawan di sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri menyewakan jasa bersih-bersih ruangan bekas orang meninggal. Konon, pekerjaannya ini membuat Akira harus sering berurusan dengan “ruangan lembap, bungkus mi instan kosong, dan futon (alas tidur khas Jepang) berbau busuk atau penuh belatung.”
Penyebab dari kondisi ruangan semacam itu tak lain akibat jasad orang tua yang membusuk selama berhari-hari bahkan hingga berbulan-bulan lamanya karena tidak ada yang mengetahui. Mereka yang bernasib apes ini biasanya orang tua yang putus komunikasi dengan anak-anaknya. Ada pula karena memang mereka, para orang tua itu, sengaja mengasingkan diri dari keluarga karena merasa tak enak jika harus merepotkan. Ditambah lagi, Jepang memang bukan seperti Indonesia yang memiliki tradisi bertamu yang cukup baik. Research Institut, seperti dikutip Washington Post, melaporkan ada 30 ribu orang meninggal dalam kesepian dan kesendirian. A lonely death namanya. Selain itu, biaya hidup di Jepang sangatlah tinggi. Celaka betul orang tua yang di masa uzurnya tak punya tabungan atau keluarga yang perhatian. Dan demi menghindari kematian secara tragis itulah banyak orang tua di Jepang lalu sengaja melakukan kejahatan agar ditangkap polisi lalu dimasukkan ke penjara. Hidup di penjara, setidaknya, menjadikan mereka tak lagi kesepian dan mati kelaparan.
“Tidak berarti saya suka, tapi saya bisa tinggal di sana gratis. Dan ketika keluar, saya punya uang simpanan. Jadi itu tak terlalu menyakitkan,” aku Tashio Takata, masih menurut Jawa Pos. Takata lebih memilih digelandang penjara ketimbang kelaparan di rumah sendirian, menanti malaikat maut mengetuk pintu lantas menyeret nyawanya dengan cara yang saya kira tak pernah diinginkan oleh siapapun manusia di dunia ini. Dalam kisah lain, saya teringat nasib tokoh lelaki tua bernama Brooks Hatlen dalam film The Shawshank Redemption. Lima puluh tahun dipenjara membuatnya terbiasa hidup dalam siklus yang monoton dan tak pernah merasa kesepian karena selalu dikelilingi banyak narapidana, datang dan pergi sewaktu-waktu. Kebebasan setelah keluar penjara justru bisa membuat ia begitu menderita. Brooks kesepian, dan kita tahu kesepian bisa membuat sekuat apapun seseorang mendadak menjadi rapuh dan labil, seperti abu tembakau yang menggantung di batang rokok. Ia lalu menulis “Brooks was here” di langit kamar sebuah rumah di luar penjara lalu kendat di sampingnya. Seorang lelaki tua mati dan dunia tetap baik-baik saja.
Berkat kisah Brooks inilah saya jadi memaklumi tindakan rekan sekantor saya yang memilih berangkat ke kantor meski tubuhnya belum sepenuhnya sehat akibat terserang stroke ringan. Dari pada sepi dan tidak ada teman ngobrol, kata rekan saya itu, lebih baik saya berangkat ke kantor meski belum sembuh benar. Suaranya pelo dan ia berjalan dengan terpincang-pincang. Di kantor, tiap mendengar suara sandal digeret sudah pasti itu pertanda kedatangannya. Saya berharap ia tak meniru tindakan Brooks. Orang Indonesia bukan tipe manusia yang gampang bunuh diri. Entah apa yang diwariskan para leluhur bangsa ini sehingga para penerusnya begitu kuat dan tabah menghadapi pelbagai cobaan hidup dan penderitaan. Dan sungguh kebetulan pada hari yang sama dengan turunnya laporan kisah orang tua di Jepang tamil di Jawa Pos, Solopos (3 Februari 2019) menurunkan puisi berjudul Lelaki Tua dan Nasibnya karya M. Dihlyz Yasir. Puisi yang berkisah tentang nasib pengemis tua yang tak jua beroleh rezeki meski telah seharian menengadahkan tangan ke orang-orang. Dihiyiz menulis: lelaki tua itu/ dengan mata terkaca, menatap/ hilir mudik jalan raya yang keruh/ orang-orang yang berlalu-lalang/ dengan isi kepala masing-masing/ sesekali balik menatapnya// ia ingin meyakini, bahwa/ manusia tak pernah sendiri/ namun ia menyadari/ kaleng di tangannya masih kosong/ dan perutnya lagi-lagi/ berbunyi. Dua bait ini mengimajinasikan adegan seorang pengemis tua yang tak jua beroleh rezeki. Ia lapar, tapi hanya dirinya yang tahu. Tak ada yang peduli padanya.
Oleh Dihlyz adegan tersebut dikombinasikan dengan satire terhadap maraknya spanduk para calon anggota dewan: di tepian jalan, dilihatnya poster-/ poster calon legislatif/ sedang tersenyum kepadanya/ seorang lelaki tua, berniat/ membalas senyuman itu/ tapi tak sempat, karena/ tiba-tiba tubuhnya dibuat gemetar/ oleh suara sirine/ mobil yang amat dihafalnya/ dan dalam beberapa detik yang/ menegangkan/ ia merasa/ ingin memedulikan dirinya sendiri. Sindiran keras terhadap laku para politisi yang kerap bicara kemiskinan, pengangguran, dan kemandirian pangan, tetapi tak peduli (atau tak tahu) ada orang-orang lapar di sekitarnya. Nasib apes menimpa lelaki tua itu. Di akhir sajak, nasibnya bahkan kian menjadi-jadi: lelaki tua itu/ berjalan berseok-seok mengikuti/ nasibnya/ dan di bawah rimbun pepohonan,/ di tepian jalan/ poster-poster calon legislatif masih/ tersenyum kepadanya. Puisi dan berita tentang nasib apes orang tua terbit bersamaan. Pertanda ada yang tak beres dalam cara kita (dan negara) memperlakukan para orang tua. Penghuni negara ini memang belum seperti Jepang dalam urusan kasus mati kesepian. Tetapi puisi yang Dihlyz tulis itu menandai negara ini juga menghadapi persoalan sejenis: perpaduan antara persoalan kemiskinan serta mentalitas masyarakat yang semakin mengedepankan individualisme.
10 Februari 2019
Widyanuari Eko Putra
![]() |
(Jawa Pos, 3 Februari 2019) |
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus