Padi, (Sepantasnya) Makin Tua Makin Berisi
Di
sepanjang jalan di depan Stadion Diponegoro Semarang, jumlah motor yang
terparkir tak terlalu banyak. Hanya di sisi selatan dan utara. Beberapa pemuda
tanggung tampak mengarahkan pengendara yang hendak mencari lokasi parkir.
Pemuda itu jelas bukan tukang parkir yang biasanya bertugas di area stadion.
Lazim terjadi, mendadak banyak anak muda menjelma tukang parkir saat
berlangsung konser musik.
Malam itu, saya memilih lokasi
parkir di sisi selatan, dekat pintu masuk stadion. Lima ribu Mas, tidak usah
dikunci setang, ucap lelaki ceking yang kedatangannya lebih menyerupai makhluk
gaib itu. Sebagai pertanda saya sudah bayar parkir, lelaki itu memberi saya potongan
kertas berwarna merah bertuliskan nomor 226. Bukan karcis parkir resmi, tentu
saja.
Sekira dua puluh langkah dari parkiran,
saya sampai di depan loket penjualan tiket. Selembar uang kertas biru saya
sodorkan dan dua tiket saya terima, untuk saya dan istri. Sepuluh ribu sebagai
kembalian masih kami terima. Murah sekali, apalagi untuk pertunjukan kelompok
musik yang sudah lama saya nanti-nantikan.
Malam itu (16/03), setelah hampir tujuh
tahun vakum, Padi kembali menggelar konser dalam helatan Super Music.ID Rockin
Noizee. Trio Gugun Blues Shelter dan J-Rocks jadi hidangan pembuka. Meski di
spanduk dan pamflet porsi gambar tiga kelompok musik itu sama besar, kita tahu
bintang utama malam itu Padi.
Sudah lama Padi absen pentas di
Semarang. Terakhir kali, seingat saya, tahun 2007. Pertunjukan ekslusif gelar tepat di
tengah-tengah Jalan Pahlawan. Jika pembaca sekalian adalah warga Semarang atau
beberapa tahun silam pernah berkunjung ke Semarang barangkali pernah melihat
bundaran di depan Patung Diponegoro Pleburan yang saya maksud. Dulu di tengah
bundaran taman itu berdiri televisi raksasa (videotron). Sekarang diganti semacam
monumen yang buruk sekali bentuknya.
Menghadap selatan dan membelakangi
televisi raksasa itulah Padi menyuguhkan atraksi panggungnya yang enerjik. Mahadewi jadi lagu pembuka meski di
tengah pentas Fadly sang vokalis sedikit mengalami miskomunikasi sehingga lagu
terdengar kurang sempurna. Saya masih
kuliah di jenjang semester dua saat menyaksikan konser itu.
Bersama dua rekan satu pondokan, saya
nekat berjalan kaki sekira tiga kilometer, dari gang Trengguli hingga ke Jalan
Pahlawan—satu hal yang saat itu sangat biasa bagi saya dan rekan-rekan saya
lakukan saat ingin menonton konser. Selain tak punya motor juga belum ada ojek
atau taksi daring macam sekarang. Di kemudian hari saya sadari peristiwa
berjalan kaki demi menonton sebuah konser ternyata begitu mengesankan dan hanya
mungkin saya lakukan semasa kuliah. Tak mungkin saya lakukan lagi sekarang bersama
istri atau rekan kerja.
Sebelas tahun telah sejak saat itu. Malam
ini kembali saya berkesempatan menonton Padi dari jarak yang lumayan dekat. Tak
dekat-dekat sekali memang, tapi setidaknya saya masih bisa memperhatikan
bagaimana detail polah tingkah mereka di atas panggung. Untuk lebih jelas
terkait hal ini, saya ceritakan nanti.
***
Lima musisi itu kembali dengan konsep
Padi Reborn. Terlahir kembali, bukan melanjutkan raga yang telanjur lahir,
begitu kira-kira yang mereka harapkan dari konsep itu. Sebuah band yang pada
mulanya telah “mati” namun berkat tekad yang kuat hingga pada akhirnya memutuskan
bangkit dari kubur.
Kembalinya Padi tampak bukan semata
klangenan atau reuni biasa. Ini lebih seperti sebuah proyek yang tampak disiapkan
betul-betul. Dimulai dari merilis film biografi bertajuk Drama Reality Mini
Seri Padi “Menanti Sebuah Jawaban” yang tayang di stasiun swasta nasional pada
akhir Oktober 2017.
Jika ada sebuah film yang dimaksudkan
untuk menelanjangi sisi baik dan buruk sebuah personel kelompok musik, saya
kira ini contohnya. Film dibuka dengan kesuksesan debut lagu Sobat di media televisi dan radio.
Adegan demi adegan lantas mengantarkan penonton menjumpai masa-masa gemilang dan
genting yang Padi alami. Hingga muncullah pertikaian yang berujung band ini vakum.
Di akhir film, rasa cinta pada musik rupanya lebih besar ketimbang egoisme
masing-masing. Mereka bersatu kembali.
Dari film ini kita bisa melihat masa di
mana Piyu tampak begitu egois dengan gagasan-gagasannya. Begitupun penggambaran
Yoyo yang acap kedapatan tengah teler saat ngeband.
Juga gesekan keras antara Piyu dengan Fadly dan Ari. Tanda-tanda band ini
semakin gawat kondisinya dimulai saat Yoyo terciduk polisi terkait kasus
narkotik. Dan beberapa tahun kemudian Ari pun menyusul Yoyo, mendekam di
penjara tersebab kasus yang sama. Seperti sawah terserang lisus, begitulah
kira-kira kondisi Padi saat itu.
Pilihan vakum rupanya tepat.
Masing-masing dari mereka mulai menyibukkan diri dengan proyek musik. Piyu
memilih bersolo karir dengan merilis lagu Sakit
Hati. Bersama para musisi pendatang, seperti Inna Kamarie dan Rendy
Pandugo, ia juga merilis lagu baru berjudul Firasat
dengan dua aransemen.
Empat anggota lainnya bersatu di bawah
naungan proyek band bernama Musikimia, menggaet musisi canggih Stephan Santoso.
Ari memang tak ikut formasi, ia lebih memilih berperan sebagai manajer. Bersama
Musikimia, dua album berhasil rilis, mini album Indonesia Adalah (2013) dan Intersisi
(2016).
Harus diakui, musikalitas Musikimia
cukup memuaskan. Berkat tangan serba bisa Stephan aransemen dan cita rasa
lagu-lagu Musikimia menjadi punya ruh. Stephan berhasil menyuguhkan karakter
suara gitar dan permainan yang sama sekali berbeda dengan Piyu. Dua kali saya
menonton konser Musikimia, di Semarang dan Purbalingga, dan saya merasa tak
sedang menonton Padi.
Tak lama berselang sejak mini seri film itu
dirilis, Padi mulai unjuk gigi ke hadapan publik. Pentas perdana digelar,
bertajuk Mega Konser Padi Reborn yang disiarkan televisi secara langsung pada
10 November 2018. Persiapan matang tampak dari pembuatan beberapa kanal media
sosial instagram, baik untuk band secara resmi maupun pribadi. Mereka berlima serentak
aktif mempublikasikan foto dan video persiapan konser perdana di laman
instagram.
Dan tampaknya usaha mereka untuk menyita
perhatian publik secara luas berhasil. Malam itu, media sosial ramai membincang
pentas Padi di televisi. Bahkan di ranah Twitter, konser Padi sempat menempati
peringkat pertama topik yang hangat dibicarakan, dengan tagar #PadiRebornRCTI.
Sebagian warganet dan pemirsa televisi merasa kerinduan pada Padi terlunasi,
selebihnya mengumbar kritik.
Saya termasuk yang kedua meski tak
menolak jadi kelompok pemirsa yang pertama. Di laman Facebook, saya menulis
komentar perihal kekikukan permainan gitar Piyu. Ia seperti gitaris yang
kerepotan menaklukan gitar Les Paul kebanggaannya. Pengaturan teknis suara yang
menyebabkan keseimbangan suara gitar miliknya dan Ari menjadi kurang harmonis
jadi sasaran kritik saya. Tujuh tahun rehat jadi alasan masuk akal mereka
berlima sulit mengembalikan “ruh” band secara utuh.
Namun setelah konser perdana yang
disiarkan langsung dari stasiun televisi itu, promosi dan agenda manggung telah
mereka siapkan. Sadar lagu-lagu mereka memiliki kenangan mendalam bagi
pendengarnya, Padi tak ingin melewatkan momentum. Padi pun menggelar konser di
beberapa kota besar di Indonesia. Yang mengagetkan ialah, Padi tampaknya menempatkan
diri mereka dalam jajaran musisi teras depan Indonesia. Ini dibuktikan dengan harga
tiket konser yang fantastis.
Peristiwa ini serupa dengan apa yang
pernah terjadi pada Noah. Setelah Ariel keluar dari penjara, pertunjukan musik
Noah yang dihelat di kota-kota besar sempat dibandrol dengan harga tiket yang
lumayan mahal. Meski begitu, tiket tetap laris terjual. Ada kesamaan kejelian
menangkap peluang antara Noah dan Padi.
Di Tangerang, misalnya, penyelenggara mematok
harga tiket 1 juta untuk kelas Platinum, 750 ribu Gold, dan 500 ribu silver. Dan
siasat ini berhasil. Berkali ulang instagram resmi Padi mengunggah informasi
tiket pentas mereka berhasil ludes terjual. Jelas sekali tontonan ini ditujukan
bagi penggemar mereka yang di kala Padi berada di puncak ketenaran, yaitu awal
tahun 2000-an, mereka masih berumur 18 atau 20-an tahun. Jadi bila ditaksir,
rata-rata segmentasi penonton mereka adalah orang dewasa berusia 30-an.
Untuk itulah saat beredar kabar Padi hendak
konser di Semarang dengan tiket seharga sebungkus rokok, jauh-jauh hari saya
sudah mengupayakan agar hari tepat di hari itu tidak ada lemburan kerja, tugas
keluar kota, atau rekan yang hendak berkunjung ke rumah. Jumat malam tanggal 16
Maret benar-benar saya sediakan khusus untuk menghadiri konser Padi. Saya tentu
tak kuat jika harus menonton dengan merogok duit ratusan ribu.
***
Memasuki area stadion, pengunjung belum
terlalu ramai. Memasuki stadion, penonton bisa lekas menukar tiket dengan
sebungkus rokok isi enam belas batang dari penyelenggara asalkan terlebih
dahulu menyerahkan duit lima ribu perak. Di sebelah kanan dan kiri lapangan
berdiri gerai penjual makanan dan cendera mata, seperti kaos dan topi. Kaos
bertuliskan Padi XX – XI laris manis. Habis Mas kaosnya, ucap panitia penjaga
gerai saat saya mendekat hendak membeli. Dari kejauhan, suara melodi Gugun
terdengar begitu nyaring, lagu apa yang dimainkan saya tidak tahu.
Jika membandingkan pertunjukan band
“selera” remaja Semarang, taruhlah Superman Is Dead atau Endank Soekamti, jelas
pengunjung malam itu hanya separuhnya saja. Tipikal penontonnya pun berbeda. Jikalau
ada sejumlah penonton yang mengibarkan panji berlambang Padi, itu satu-dua
saja, dan sangat wajar. Dari kejauhan saya lihat ada penonton membawa tanaman
padi (benar-benar tumbuhan padi yang seperti baru dicerabut dari sawah) dan
mengangkatnya tinggi-tinggi. Ada-ada saja. Tetapi barangkali itulah ekspresi
kerinduan seorang penggemar yang bertahun-tahun tak menonton aksi idolanya.
Raungan melodi Gugun selesai tepat
setelah dua batang rokok tandas saya isap. Suara pembawa acara yang cempreng
dengan sesekali lontaran guyon garing mengantar J-Rocks sebagai penampil kedua
naik ke atas panggung. Memperkenalkan beberapa lagu baru, band yang pernah jadi
gandrungan mahasiswa, baik dari musikalitas maupun gaya berbusananya, ini
hampir tanpa jeda membawakan sekitar tujuh lagu yang pernah beken pada
pertengahan tahun 2000-an. Yang saya hafal lagu Meraih Mimpi dan Ceria.
Penampilan mereka tak begitu atraktif, terlebih Iman, sang vokalis.
Tetesan air terasa agak menderas
bersamaan dua lagu terakhir yang J-Rocks nyanyikan. Di langit awan tampak
berwarna cokelat tua selai kacang, angin pun berembus begitu kencang. Sulit dibayangkan
jika hujan deras turun malam itu. Beberapa bulan silam, di tempat yang sama, saya
menonton pertunjukan musik cadas dari band Deadsquad. Hujan deras turun
bersamaan lagu pertama mereka mainkan. Sedikit saja dari penonton yang rela
bertahan, selebihnya memilih berteduh di tribun stadion.
Hujan tak sepenuhnya menderas saat
kepala plontos Yoyo mulai terlihat di balik perkakas drumnya. Jika biasanya
Padi selalu membuka pentas dengan lagu Mahadewi,
malam itu mereka memilih lagu Sang
Penghibur. Ini lagu unggulan di album terakhir utuh Padi sebelum vakum.
Secara lirik, pesan yang ingin disampaikan lagu ini begitu kuat. Bukankah hidup adalah perhentian, tak harus
kencang terus berlari. Kulayangkan pandang, tuk siap berlari kembali… Lirik
yang menegaskan tekad Padi untuk kembali di panggung musik Tanah Air, saya
kira.
Tak sampai jeda lima detik saat pukulan
stik Yoyo berlanjut ke lagu Mahadewi. Racikan
hentakan drum Yoyo yang disaut secara jitu oleh jeritan gitar Piyu pantas
dinobatkan sebagai salah satu lagu dengan kekhasan intro terbaik di Indonesia. Lirik
yang puitis dan tak menye-menye kian menjadikan
lagu ini sulit mendapat olok-olokan. Seorang polisi yang berjaga-jaga tepat di
depan pagar pembatas antara penonton dan panggung tampak ikut bernyanyi.
Mulutnya membersamai alunan lagu dari atas panggung tetapi matanya masih awas
memandang sekitar, waspada jika mendadak ada copet beraksi.
Seusai lagu itu, barulah Fadly menyapa
penonton. Sekadarnya saja, seperti biasa. Gerimis terasa semakin cepat
intensitasnya dan kilatan petir tampak menjilat-jilat di langit. Dekorasi kain
hitam di kanan dan di kiri panggung tampak berkelebatan kencang tetapi tak sampai
mengganggu perhatian penonton. Perhatian justru mengarah pada genjrengan rhytm berirama dari gitar Ari, menandai
lagu Begitu Indah mulai dimainkan.
Bunyi lesatan bass Rindra yang dihentakkan langsung ditikung melodi gitar Piyu.
Nyaris tanpa cela lagu ini mereka mainkan.
Jeda antara empat detik, genjrengan
gitar akustik Fadly menandai lagu Semua
Tak Sama mulai disenandungkan. Memasuki bait lagu, saya sudah begitu pasrah.
Biarlah hujan dan angin beliung menerjang malam itu. Saya tak peduli. Inilah
semacam puncak kenikmatan menyimak alunan lagu Padi malam itu. Efek gitar Ari
yang menyerupai alunan selo membuat ingatan dan kenangan masa SMP berlesatan. Sesuatu
sekali.
Sampai menjelang reff kedua, kelopak
mata saya nyaris saja memanas dan pertahanan saya hampir jebol namun
lekas-lekas kembali saya menguasai diri. Terharu hingga meneteskan airmata saat
menonton pertunjukan musik saya kira agak berlebihan. Menjelang reff, tarikan
senar gitar Piyu yang dipadu betotan bass Rindra dan hentakan snare Yoyo
mengingatkan kita pada bridge pada lagu Creep-nya
Radiohead. Menggebrak, penuh tenaga, dan pada saat yang bersamaan mengharukan.
Lagu di urutan tiga di album Sesuatu yang Tertunda itu memang ibarat
lagu wajib semasa saya masih demen
ngeband saat SMP dulu. Di awal tahun 2000-an, Padi, bersama Sheila on 7 dan
Dewa 19, seperti tengah bertarung menyebarkan pengaruh musikalitas mereka
kepada para musisi muda. Esais Denny M. R. menceritakan, dalam sebuah festival
band di Bogor tahun 2002, dari “60 persen peserta menampilkan aransemen bergaya
kepadi-padian!”
Denny menambahi, Padi memang punya
keunggulan kala itu. “Mereka tak mau menjadi budak mesin teknologi, dan tetap
memasukkan elemen akustik pada sebagian karyanya, seperti harpa (Kasih Tak Sampai) dan selo (Semua Tak Sama), namun sementara itu tak
asing pula dengan permainan loop (Sudahlah!) sebagai simbol musik kekinian
(Tempo, 5 Januari 2003).
Ada sekitar sepuluh lagu yang Padi
mainkan malam itu, dari Harmoni, Kasih Tak Sampai, Sesuatu yang Indah, Bayangkanlah,
dan Hitam. Seperti yang sudah-sudah,
rasanya memang lagu penutup paling pas ialah Sobat. Pemilihan lagu ini ibarat ungkapan keberterimakasihan. Lagu
yang membuat Padi dikenal hingga kini. Sungguh konser yang murah meriah dan
memuaskan.
Seandainya ada suatu hal yang “kurang”
dari aksi panggung Padi malam itu ialah melemahnya pukulan Yoyo. Sebagai orang yang pernah menekuni
alat musik drum, Yoyo di masa lalu termasuk musisi drum yang saya kagumi.
Ketukan-ketukannya yang khas disertai pukulan-pukulan bertenaga optimal
berhasil menghadirkan lagu Padi, biarpun itu lagu berlirik sedih dan
patah hati, tak terdengar mendayu-dayu dan lembek.
Ada energi yang tersalurkan dalam setiap
lagu-lagu yang Yoyo iringi. Bahkan pada lagu yang dinyanyikan musisi lain namun
diringi permainan drumnya, seperti lagu Hero
(Noah) dan Doaku (Hadad Alwi). Itulah
sebabnya menjadi ada yang “kurang” ketika menyaksikan Yoyo tampil dengan
pukulan yang tak sampai seratus persen. Atau jangan-jangan, inilah masa-masa di
mana Yoyo tengah sepenuhnya menguasai diri saat beraksi di panggung. Atau
dengan perkataan lain, semacam kedewasaan dalam bermusik
Komentar serupa beralamat ke Piyu.
Seperti kesan saat menonton konser perdana di televisi pertengahan November
tahun silam, Piyu masih acap tak kuasa “menjinakkan” gitar Les Paul bermotif zebra
yang begitu khas dengan sosoknya. Di tengah lagu Hitam, misalnya, Piyu nyaris terlambat memainkan solo gitarnya. Ia tampak
terburu-buru menginjak pedal efek beberapa kali dan dengan terburu-buru pula memutar
knop kontrol suara pada gitar. Beruntung ia tak sampai terlambat. Barangkali
ini persoalan teknis, tetapi cukup mengganggu jika sering terjadi di atas
panggung.
Selebihnya, penampilan Padi memang berhasil
memancarkan karismanya sebagai band kakap Indonesia. Mereka jelas sudah mendekati
tua, dan penguasaan atas diri masing-masing personil saat di atas panggung
mesti mereka buktikan. Yoyo memang tidak segahar dahulu, tapi jelas ketukan
drumnya terjaga stabil sejak awal hingga pengujung pentas.
Adalah celetukan Fadly yang saya ingat
malam itu, tepat menjelang lagu terakhir: “Percayalah, kualitas mengalahkan
kuantitas.” Pernyataan ini mungkin semacam kredo Padi hari ini, dan sebaiknya
memang begitu. Berharap bisa bersaing dengan band-band baru dengan variasi
musik dan genre yang sangat beragam, bagi saya, jelas Padi tak akan kuat.
Menjaga agar di setiap konser kualitas
permainan dan musikalitas lagu mereka tetap terpantau maksimal, itulah tugas
berat Padi hari ini. Buang jauh-jauh filosofi ilmu padi yang berbunyi makin
berisi makin merunduk. Padi yang merunduk adalah konsekuensi logis dari batang
tubuh tumbuhan yang lemah karena tak kuat menahan bulir padi yang menua dan
berbobot. Sudah saatnya Padi menjelma “beras-beras” yang mengenyangkan dan bergizi
bagi para penggemarnya.[]
17 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar