Saya dan Togamas di Sebuah Televisi Raksasa

Setelah para penyuka buku di Semarang merasa begitu kehilangan “surga” belanja buku bekas di Pasar Johar akibat kebakaran pada hari Sabtu 9 Mei 2015, kini kesedihan itu bertambah. Mulai 18 Februari tahun ini, toko buku Togamas Semarang resmi menutup tokonya untuk waktu yang tak ditentukan. Tersebab alasan apa toko buku langganan saya sejak tahun 2007 ini tutup, saya kurang tahu.
            Hari itu kira-kira seminggu sebelum bulan Januari berakhir saat saya mendapat informasi Togamas bakal tutup. Memang sudah menjadi kebiasaan, setiap akhir pekan selama setidaknya sepuluh tahun terakhir saya selalu berkunjung ke Togamas. Hari libur menjadi hari paling menyenangkan untuk pergi ke toko buku. Kita bebas berlama-lama melihat-lihat, memilah-milih buku, atau di antara sebentar, membaca sampul belakang buku, yang biasanya memuat selayang pandang isi buku dan beberapa komentar para suhu terkait buku tersebut.
Godaan berlaku vandal pun kerap muncul ketika ada buku yang menurut saya menarik namun tidak ada sampel buku untuk dibaca di tempat alias berstatus lepas segel. Terpaksa: dengan sesekali lirik kanan kiri, kedua tangan lincah menyobek ujung bungkus plastik dan cepat-cepat meloloskannya dari buku. Lima sampai sepuluh detik, misi pun beres. Di Togamas, aktifitas menyobek bungkus plastik sudah tak terhitung berapa kali saya lakukan. Toh pada akhirnya saya selalu membeli, pikir saya, meskipun hanya satu-dua buku saja. Menyobek bungkus plastik anggap saja sebagai bagian dari cara saya untuk menjadi pembeli buku yang arif dan selektif.
Dalam kunjungan terakhir akhir bulan Januari itu, saya merasa ada suasana yang berbeda di Togamas. Jika melihat penataan buku berubah-ubah posisi setiap Minggunya, saya tentu saja tak kaget. Sudah jadi kebiasaan Togamas Semarang memindah-mindah penataan buku dari satu rak ke rak lainnya secara rutin, seolah sudah menjadi beleid saja. Selama ini, yang saya amati, Togamas di Semarang memang hobi sekali menata ulang posisi buku dan rak-raknya. Tak jarang saya dibikin kesal karena ingatan pada letak buku-buku di rak seringkali jadi kacau. Kenapa tak mencari letak buku lewat komputer atau bertanya ke mas-mas atau mbak-mbak penjaga toko? Saya punya keyakinan, sebelum merasa putus asa mencari sendiri buku yang akan dibeli, kiranya pantang meminta bantuan alat pencari di komputer atau bertanya kepada mas-mas dan mbak-mbak penjaga toko. Ini semacam kenikmatan yang sulit dijelaskan.
Nah, saat itu, begitu memasuki toko, di bagian belakang toko tampak bertumpuk-tumpuk dus, saya yakin isinya buku, apalagi. Di halaman toko, tampak sebuah mobil pengangkut tengah diisi dus-dus yang dipanggul oleh para karyawan lelaki. Rak-rak buku sastra yang selalu jadi tujuan awal tiap kali saya datang berkunjung, penataan buku-bukunya mendadak mirip di kontrakan saya: berjejer dan tergeletak tak beraturan. Di meja pamer, hanya separuh saja yang diisi jejeran buku. Kertas-kertas seukuran KTP menempel di sudut rak bagian depan, bertuliskan “Diskon 25% untuk novel dan komik”. Lha, terus guna kartu anggota buat apa kalau diskonnya juga lebih besar ketimbang potongan yang disediakan bagi pemilik kartu. Saya kira ini adalah pertanda buruk.
“Berantakan sekali, mas. Mau pindah lagi, ya?” mencoba berbasa-basi, saya menanyai seorang karyawan.
“Tutup, mas. Buku-bukunya mau dipulangin semua ke penerbit. Nggak tahu sampai kapan tutupnya.” Wajah masnya tampak kusut. Dia duduk di kursi sebelah kasir, tampak tak bergairah. Di saku kiri bajunya tak lagi menggantung name tag seperti biasa. Sesekali dibukanya telepon pintar, entah karena benar-benar ada pesan pendek masuk atau sekadar basa-basi menghadapi kenyataan buruk bahwa tempat kerjanya bakal tutup.   
Seketika saya merasa hening, seperti ada sebuah televisi raksasa yang mendadak memutar film bisu yang menampilkan seluruh peristiwa-peristiwa lampau perihal kenangan pribadi saya dengan toko buku ini. Tak sebentar persinggungan saya dengan Togamas ini. Sejak 2007, tepatnya saat pertama kali memutuskan kuliah di Semarang hingga kini menjadi karyawan di sebuah kampus swasta, Togamas sudah seperti gereja yang wajib saya kunjungi tiap Minggu seumpama saya seorang kristiani yang alim.
Dalam kondisi keuangan seperti apa pun, biasanya saya tetap menyisakan uang harian untuk membeli buku baru, meskipun itu hanya sebuah buku tipis seharga 25rb. Bagi saya, berkunjung ke toko buku adalah cara agar informasi yang saya miliki seputar buku-buku baru selalu termutakhirkan. Apalagi cukup lama saya menekuni resensi. Bagi seorang peresensi, mutlak hukumnya memutakhirkan informasi dan bacaan buku-buku baru. Kenapa Togamas, bukankah di Semarang masih ada Merbabu, Gunung Agung, dan Gramedia? Tentu saja karena diskon yang disediakan toko ini cukup membantu saya yang berkemampuan pas-pasan. Dua puluh persen diskon bagi saya sudah sangat membantu.
Dulu Togamas ada di daerah Pleburan, lantas ketika pindah ke jalan M.T Haryono, toko ini berganti toko buku Pandora. Saya pun menyaksikan hari-hari akhir menjelang toko buku Pandora bangkrut. Toko yang berjarak sepelemparan puntung rokok dari kampus pencetak pelaut ini pun lantas mengobral buku-bukunya, diskon 50% untuk seluruh judul buku. Saya mujur, buku-buku Goenawan Mohamad dan terbitan Kobam saya miliki dengan separuh harga.
Bahkan, saya sempat memborong setumpuk kumpulan cerpen Triyanto Triwikromo dan Budi Darma, yang rata-rata dibandrol sepuluh ribuan per buku. Setelah Pandora tutup, toko ini lantas berubah jadi kedai susu segar, dan selang beberapa bulan kemudian beralih fungsi menjadi minimarket. Selain Pandora, awal-awal saya di Semarang, konon di daerah Tembalang (kompleks Undip pusat), juga ada Togamas. Namun saya belum pernah sempat ke sana hingga pada akhirnya juga tutup.
Lantas Togamas berlokasi di jalan MT. Haryono alias Jalan Mataram. Selain tempatnya yang begitu strategis, suasana di sana juga begitu nyaman: ada kolam air mancur dan beberapa tempat duduk yang dipersilakan kepada pengunjung untuk sekadar bersantai dan membaca buku. Sesekali ada sepasang muda-mudi kere yang memanfaatkan lokasi bergengsi ini untuk berduaan dan memadu kasih. Aroma masakan ikan bakar sesekali tercium begitu menyengat karena memang toko ini bersebelahan persisi dengan restoran ikan bakar.
Seingat saya, kala itu koleksi buku di Togamas ini sangat lengkap. Bahkan buku-buku stok lama juga masih kerap tersedia di sini. Kalender terus berganti, semenjak menempati toko baru di Jalan Majapahit, terutama koleksi buku sastra, stok buku kian hari berkurang. Di tempat yang baru, bangunan toko terdiri dari dua lantai. Di pojok sebelah kanan lantai dua biasanya berjejer buku-buku ekonomi, agama, bahasa, dan akutansi, meski seringkali ada buku puisi nyempil di situ. Lantas, persediaan buku semakin berkurang, dan pada akhirnya dikosongkan sama sekali. Di ruang bagian belakang, sebuah halaman yang ditutupi semacam tratag, lantas ditempati rak-rak yang diisi buku kedokteran, sejarah, pendidikan, dan bahasa.
Lagi-lagi, nasib baik rupanya belum berpihak pada toko ini. Ruang belakang pun pada akhirnya dikosongkan sama sekali. Tanda-tanda kebangkrutan sudah tampak jelas, sebelum akhirnya ketika terakhir saya berkunjung, denyut napas toko ini hampir-hampir sudah berhenti total. Mati. Satu demi satu buku dimasukkan dus, diangkat menuju mobil yang siap mengantarkan buku itu ke penerbit, atau ke gudang, atau entah ke mana. Saya adalah salah satu saksi saksi akhir riwayat Togamas Semarang.
Begitu banyak ingatan yang terputar kembali di televisi raksasa ingatan saya. Sekira dua jam lamanya saya hanya memandangi rak demi rak, mengingat jam-jam panjang yang sering saya habiskan di toko buku ini. Barangkali mas-mas penjaga yang tadi saya sapa bertanya-tanya dalam hati: mau beli apa mau melamun sih nih orang, lama banget? Atau justru sebaliknya: tak ada yang mas-mas itu pedulikan lagi dari toko buku ini, selain nasib pekerjaannya yang mungkin akan semakin tak jelas setelah toko ditutup.
“Apalah arti sebuah kota tanpa toko buku?” begitu kira-kira Gabrielle Zevin pernah menulis dalam novelnya The Storied Life of A.J. Fikry. Tetapi barangkali pernyataan itu kurang tepat dipakai di sini. Masih ada beberapa toko buku yang memilih bertahan di Semarang, meskipun tak ada yang sebaik Togamas karena aneka diskon yang ditawarkan.
Neon besar yang menerangi papan nama toko itu memang masih menyala terang saat malam hari, meski hanya untuk beberapa hari mendatang saja. Pagar besi bercat hitam di depan toko pun bakal terkunci gembok. Barangkali lokasi ini bakal digantikan alfamart, toko besi, restoran ayam geprek, atau karaoke. Suatu hari nanti, saya tentu akan merindukan masa-masa mengunjungi toko ini, memarkir motor di halaman toko, menaruh tas di penitipan, lantas berbetah-betah di antara rak, buku-buku, dan ditemani kipas angin yang embusannya tak seberapa. Rupanya ada yang masih sulit saya percayai: Togamas di kota saya kini tengah berkemas.[]

5 Februari 2018
Widyanuari Eko Putra


Komentar

  1. Ngerasain patah hati banget pas toko buku Pandora tutup, dan sekarang kejadian lagi di salah satu tempat favorit jaman kuliah dulu 😭😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi saya percaya: ada dan tiada Togamas tingkat baca masyarakat Semarang tetap stabil...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer